Upaya Mencegah Kecemasan Siswa di Sekolah

Tuesday, July 21, 2009




Oleh : Akhmad Sudrajat

Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.

Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu.

Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:

1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.

2. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan impulsif.

3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma

Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.

Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.

Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.

Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya dapat dilakukan melalui:

1. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.

2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat mengembangkan ?sense of humor? dirinya maupun para siswanya. Kendati demikian, lelucon atau ?joke? yang dilontarkan tetap harus berdasar pada etika dan tidak memojokkan siswa.

3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi ?game? atau ?ice break? tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.

4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.

5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.

6. Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif (hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.

7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau pengujian.

8. Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.

9. Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa, seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun orang-orang yang berada di luar sekolah.

10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini, ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak adanya.

Melalui upaya ? upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.

Sumber : www. akhmadsudrajat.wordpress.com

Artikel Lain :

Definisi Psikologi

Definisi Psikologi

Tuesday, July 14, 2009




Oleh : Tatang Somantri S.Pd.I

Psikologi
yang dalam istilah lama di sebut ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: (1) psyche yang berarti jiwa; (2) logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi adalah ilmu jiwa atau bisa di sebut ilmu yang mempelajari kejiwaan.

Psikologi pada mulanya di gunakan para ilmuwan dan para filosof untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memahami akal pikiran dan tingkah laku aneka ragam makhluk hidup mulai dari yang primitive sampai yang modern. Namun ternyata tidak cocok, lantaran menurut para ilmuwan dan filosof, pisikologi memiliki batasan-batasan tertentu yang berada di luar kaedah keilmuan dan etika falsafi. Kidah saintifik dan patokan etika filosofi ini tak dapat di bebankan begitu saja sebagai muatan psikologi (Rebek, 1988)

Karena kontak dengan di siplin itulah, maka maka timbul berbagi macam defenesi psikologi yang stu sama lain berbeda, Seperti :
  1. Psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental (the science of mental life)
  2. Psikologi adalah ilmu mengenai pikiran (the science of mind)
  3. Psikologi adalah ilmu mengenai tingkah laku (the science of behavior); dan lain-lain defenisi yang sangat tergantung pada sudut pandang yang mendefenisikannya
Namun secara lebih spesifik (khusus), psikologi lebih banyak di kaitkan dengan kehidupan organisme manusia. Dalam hubungan ini psikologi di defenisikan sebagi ilmu pengetahuan yang berusah memehami prilaku manusia, alasan dan cara mereka melakukan sesuatu, dan juga memahami bagimana makhluk tersebut berpikir dan berperasaan (Gleitman, 1986).

Bruno (1987), membagi pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada perinsipnya saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai “ruh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai ”kehidupan mental”, ketiga psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “ tingkah laku” organisme.

Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology mendefinisikan psikologi sebagai “ …the science of humen and animal behavior, the study of the organism in all its variety and complexity as it responds to the flux and flow of the physical and social events which make up the environment. (Psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai prilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam kerumitannya ketika bereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakan yang mengubah lingkungan). Sementara itu, Edwin G. Boring dan Herbert S. Langfeld seperti yang di kutip Sarwono (1976) mendefinisikan psikologi jauh lebih sederhana daripada defenisi di atas, yakni psikologi ialah studi tentang hakikat manusia.

Selanjutnya, dalam Ensiklopedia Pendidikan, Poerbakawatja dan Harahap (1981) membatasi arti psikologi sebagai “Cabang ilmu pengetahuan yang mengadakan penyelidikan atas gejala-gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa tersebut meliputi respons organisme dan hubungannya dengan lingkungan.

Dalam defenisi-definisi di atas tampak jelas persamaan-persamaan di samping perbedaan pandangan para ahli. Namun terlepas dari perbedaan dan persamaan tersebut, pendapat yang lebih relevan (berkaitan dengan kepentingan) untuk di pedomani sehubungan dengan topik-topik pembahasan dalam buku ini adalah pendapat Gleitman dan Boring dam Lengfeld. Pendapat itu juga disamping tidak berbelit-belit juga hanya menitik beratkan pada kepantingan organisme manusia.

Pendapat-pendapat itu sesuai dengan kenyataan yang anda selama ini, yakni para ahli pada umumnya lebih banyak menekankan penyelidikan terhadap tingkah laku manusia yang bersifat jasmaniah (aspek psikomotor) maupun yang bersifat rohaniah (aspek kognitif dan apektif). Tingkah laku psikomotor (ranah kersa) bersifat terbuka. Tingkah laku terbuka meliputi perbuatan berbicara, duduk, berjalan, dan seterusnya. Sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berpikir, berkeyakinan, berperasaan dan seterusnya.

Alhasil, secara singkat dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa psikologi adalah “ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Lingkungan dalam hal ini meliputi semua orang, barang, keadaan dan kejadian yang ada di sekitar manusia”

Sumber : www.pendidikankita.com

Artikel Lain :

Hakekat Mental

Hakekat Mental

Saturday, July 4, 2009



1. Pengertian Mental

Mental berasal dari kata latin yaitu mens, mentis yang artinya: jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat (Kartini Kartono, 1987:3). Sedangkan dalam kamus psikologi Kartini Kartono, (1987:278) mengemukakan:

Mental adalah yang berkenaan dengan jiwa, batin ruhaniah. Dalam pengertian aslinya menyinggung masalah: pikiran, akal atau ingatan. Sedangkan sekarang ini digunakan untuk menunjukkan penyesuaian organisme terhadap lingkungan dan secara khusus menunjuk penyesuaian yang mencakup fungsi-fungsi simbolis yang disadari oleh individu.

Pengertian mental dalam kamus besar bahasa Indonesia, (1991:647) adalah“Berkenaan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga, Bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik yang diperhatikan melainkan juga pembangunan batin dan watak”.

Mental secara istilah dapat diartikan dengan “semangat jiwa yang tegar, yang aktif, yang mempengaruhi perilaku hidup dan kehidupan manusia” (Mawardi Labay El- Sulthani,2001:2).

Melihat dari pernyataan diatas, maka mental bisa diartikan sesuatu yang berada dalam tubuh (fisik) manusia yang dapat memepengaruhi perilaku, watak dan sifat manusia di dalam kehidupan pribadi dan lingkungannya.

2. Ruang Lingkup Mental

Dalam Agama Islam keterpisahan antara ilmu pengetahuan dan masalah agama tidaklah terjadi. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang berjalan seiringan dan tidak terpisahkan. Oleh karena itu bagi seorang Muslim untuk membuat pemisahan antara pendekatan psikologi dan agama itu tidak mungkin, karena kajian manusia banyak disebut-sebut dalam Al- Quran.
Djamaludin Ancok mengemukakan :

Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah SWT dalam Al- Quran Antara lain “kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri” (QS.41:45). Ayat ini mengisyaratkan bahwa di alam semesta maupun dalam diri manusia terdapat suatu yang menunjukkan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan “sesuatu” di sana adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia (Djamaludin Ancok, 2001:148).

Kalau dikaji lebih jauh ayat-ayat Al-Quran dapat ditangkap bahwa manusia menenmpati posisi penting, seperti yang tertera dalam Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah berbicara tentang manusia “Khalaqol insaana min’alaq”. Dapat diperhatikan dengan cermat, ada salah satu yang berkenaan dengan manusia yaitu jiwa.

Sedangkan dalam kajian psikologi masa kini ruang lingkup jiwa (mental) berkisar pada: tri- dimensionaraga (organo-biologi): jiwa (psiko-edukasi), dan lingkungan sosial budaya (sosio- kultural) sebagai penentuan utama perilaku dan kepribadian manusia. Dalam hal ini unsur raga semata bukan merupakan bidang kajian mental, melainkan termasuk bidang kajian bologi dan ilmu kedokteran demikian pula unsur lingkungan sosial budaya “an sich” tidak termasuk lahan mental tetapi bidang cakupan sosiologi dan antropologi. Tetapi sejauh kedua unsur ini berkaitan dengan pengalaman (kejiwaan) manusia, maka sudah tentu psikologi dapat dilibatkan.

Dengan demikian ruang lingkup psikologi secara garis besar adalah bidang-bidang psiko-biologi, psiko-ekstensial, dan psiko-sosial (budaya) dengan segala kemajemukannya (Hanna Djumhana Bastaman, 2001:148).

Sedangkan yang dimaksud dalam penelitian ini hanya berkisar pada organo- biologi (psiko-biologi) dan psiko-edukasi (jiwa).

3. Aspek-Aspek Mental

Manusia adalah makhluk yang pada dasarnya baik dan selalu ingin

Kembali padakebenaran yang sejati, karena pada diri manusia mempunyai

Aspek-aspek jiwa yang bisa mempengaruhi segala sikap dan tingkah laku manusia. Bertolak dari pernyataan maka aspek-aspek manusia dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Kartini Kartono (2000:6) mengemukakan bahwa aspek mental yang ada dalam diri manusia adalah keinginan, tindakan, tujuan, usaha-usaha, dan perasaan

b. Zakiah Darajat (1990:32) berpendapat bahwa aspek mental yang ada dalam diri manusia adlah kehendak, sikap, dan tindakan.

c. Mawardi Labay El- Shuthani (2001:3) memnadang bahw aspek mental yang ada dalam diri manusia adalah segala sesuatu yang menentukan sifat dan karakter manusia.

d. IbnuSina (1996:116) berpendapt bahwa aspek mental yang ada dalam diri manusia adalah kesadaran diri, amarah, dan keinginan.

e. Al Ghazali (1989:7)mengemukakan bahwa aspek mental yang ada dalam diri manusia adalah yang merasa, yang mengetahui dan yang mengenal.

f. Hanna Djuhamham Bastaman (2001:64) memandang bahwa aspek mental yang ada dalam diri manusia adalah berpikir, berkehendak, merasa, dan berangan-angan.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa aspek mental yang ad pad diri manusia adalah aspek-aspek yang dapat menentukan sifat dan karakteristik manusia itu sendiri. Perbuatan dan tingkah laku manusia sangat ditentukan oleh keadaan jiwanya yang merupaka motor penggerak suatu perbuatan. Oleh sebab itu aspek-aspek mental tersebut bisa manusia kendalikan melalui proses pendidikan.

Sumber : www.pendidikankita.com

Artikel Lain :

Pendidikan Mental