Belajar | Penjelasan Definisi Belajar

Wednesday, November 3, 2010

Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.

Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.

Penjelasan Definisi Belajar

  1. Perubahan akibat belajar dapat terjadi dalam berbagai bentuk perilaku, dari ranah kognitif, afektif, dan/atau psikomotor. Tidak terbatas hanya penambahan pengetahuan saja.

  2. Sifat perubahannya relatif permanen, tidak akan kembali kepada keadaan semula. Tidak bisa diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk, dan sebagainya.

  3. Perubahannya tidak harus langsung mengikuti pengalaman belajar. Perubahan yang segera terjadi umumnya tidak dalam bentuk perilaku, tapi terutama hanya dalam potensi seseorang untuk berperilaku.

  4. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Berbeda dengan perubahan serta-merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.

  5. Perubahan akan lebih mudah terjadi bila disertai adanya penguat, berupa ganjaran yang diterima - hadiah atau hukuman - sebagai konsekuensi adanya perubahan perilaku tersebut.

  6. perasaan bangga dalam diri karna dapat mengerti dan paham akan apa yang di pelajari

Perbanyak kata-kata positif II

Tuesday, June 22, 2010

  • bila anda ingin menang tapi merasa tidak mampu, hampir pasti anda tidak akan menang (Arnold Palmer, pegolf caliber dunia)
  • inti dari strategi adalah bertahan hidup. (Jack Trout)
  • bercita-citalah setinggi langit, karena kalaupun engkau jatuh, engkau masih terduduk diantara bintang- bintang. (Anonim)
  • lakukanlah apa yang takut anda lakukan, maka rasa takut itu akan hilang. (Ralp Waldo emerson) keberanian mengambil keputusan
  • keputusan membutuhkan pengorbanan, jika anda memutuskan untuk membuka satu usaha, anda tidak mungkin mengerjakan hal lainnya. Jika anda tidak memilih prioritasnya, juga ada pengorbanannya yaitu anda tidak akan pernah sampai kemana-mana. (Paul Budnitz, founder kidrobot)
  • hindari kerumunan. Bangun pemikiran anda sendiri. Jadilah pemain catur, bukan pionnya.(Ralph Charell)
  • jika orang-orang berjalan kekanan, berbeloklah ke kiri (Film Dead Poets Society)
  • saya tidak tahu kunci sukses, tapi kunci kegagalan adalah mencoba menyenangkan orang. (Bill Cosby)
Artikel Lain :

Perbanyak Kata-Kata Positif

Perbanyak Kata-Kata Positif

1. saya harus melakukan sesuatu supaya tetap hidup.
(Lee Iacocca)

2. orang pertama yang harus memercayai anda adalah diri anda sendiri
(Anonim)

3. saya bisa saja bangun jam sembilan pagi dan menjadi petani kacang, atau bangun jam enam pagi dan menjadi presiden.
(Jimmy Carter, mantan petani kacang yang menjadi Presiden Amerika serikat)

4. ATURAN EMAS UNTUK MAJU
1. lakukan selangkah demi selangkah

2. bila merasa tak mampu maju lagi, kembalilah ke aturan nomor 1.
(H. Jackson Brown, Jr., penulis)

5. cepat atau lambat, kemenangan akan menjadi milik orang yang percaya bahwa mereka akan meraih kemenangan.
(Arnold Palmer, pegolf caliber dunia)

6. mencoba menjadi lebih baik adalah demi menjadi lebih baik.
(Charlotte Cushman)

7. anda akan terheran-heran dengan prestasi yang bisa anda capai, asal saja anda tidak peduli siapa yang akan memperoleh pujian.
(Harri S. Truman, Presiden Amerika Serikat pada saat bom atom diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki)

Artikel Lain :

Kiat Sukses

Kiat sukses

Friday, June 4, 2010






Artikel Lain :

Pendidikan Dalam Kandungan

Pendidikan Dalam Kandungan

Tuesday, April 27, 2010




Seorang perempuan telah dianugerahi oleh Allah SWT untuk menyandang gelar sebagai seorang ibu, tatkala statusnya telah menjadi seorang istri, maka iapun harus menyiapkan mental agar mampu menjadi seorang ibu yg baik, shalehah, mampu merawat dan menjaga anak-anaknya sebagai amanah dari Allah SWT.

Menjaga anak-anak sebagai amanah dari Allah tidak dilakukan setelah ibu melahirkan, tapi ketika si ibu dalam proses pembuahan, sudah dimulai proses pendidikan yaitu dengan cara berdo’a terlebih dahulu sebelum melakukan hubungan suami istri. Sehingga setelah dinyatakan hamil, proses pendidikan dalam kandungan untuk janin yg ada di dalam rahim akan segera dimulai, para calon ibu perlulah mempelajari hal-hal yg dianjurkan bagi ibu hamil untuk melakukan proses pendidikan dalam kandungan, bila proses pendidikan dilakukan ketika bayi telah lahir atau ketika ia sudah mulai berbicara, bahkan ketika ia hendaka memasuki masa sekolah, maka dikatakan bahwa proses pendidikan ada telah terlewat dalam waktu yang bisa dikatakan tidak sebentar.

Menurut penelitian ilmiah terbaru, anak-anak dapat dididik sejak masih dalam kandungan, karena selama dalam kandungan, otak dan indra pendengaran anak sudah mulai berkembang, mereka dapat merasakan apa yang terjadi di luar kehidupan mereka, sementara yang mempengaruhi otak dan indera pendengaran bayi di dalam kandungan antara lain emosi dan kejiwaan ibu, rangsangan suara yang terjadi di sekitar ibu, juga nutrisi yang ibu konsumsi, harus terjaga agar selama hamil, tidak stress, karena stress dapat berpengaruh terhadap bayi yang sedang dikandung. Ibu hamil yang stress dapat melahirkan bayi yang bermasalah, juga asupan gizi yang tidak sehat akan dapat mempengaruhi otak janin, hal tersebut dapat terlihat setelah dilahirkan, atau ketika ia tumbuh besar.

Setiap ibu dipastikan menginginkan bayinya lahir dengan selamat, tumbuh dengan sehat dan cerdas, maka untuk mendapatkan hal itu, seorang ibu bisa memulainya dengan mendidik bayi dalam kandungan.

Pada dasarnya pendidikan dalam kandungan berarti mendidik ibu yang sedang mengandung bayinya yang secara garis lurus akan tertuju pada bayi yang sedang di kandung. Berikut ini beberapa point pendidikan dalam kandungan yang dapat dijalani semua ibu yang sedang mengandung maupun yang belum. diantaranya:

1. Berpikir positif dan berperang melawan emosi diri sendiri, berusaha menjaga keharmonisan dengan pasangan dan berusaha menghindari konflik dengan pasangan, dengan demikian Insya Allah akan melahirkan bayi-bayi yang kuat. Sebaliknya bila ibu berpikir negatif dan tidak berusaha menghindari konflik, maka akan lahir bayi-bayi yang lemah dan akan berpengaruh pada emosi kejiwaan mereka.

2. Stimulasi kandungan dengan elusan dan tepukan halus, bisa dilakukan ketika si janin mulai menendang perut ibu, balaslah dengan tepukan halus dimana ia menendang. hal ini akan mengajarkan kepadanya bahwa setiap tindakannya akan mendapat respon dari ibunya.

3. Selalu mengajak bayi ibu berbicara, semakin ibu komunikatif, semakin cepat bayi belajar untuk mengerti setiap kata yang ibu sampaikan, karena di dalam perut ibu, indera pendengaran bayi sudah mulai berfungsi.

4. Perbanyak ibadah, ini merupakan hal terpenting dalam kehidupan kita, apalagi bila ibu sedang mengandung, ada kehidupan lain di dalam perut ibu, hanya Allah yang mampu memberikan itu semua, perbanyaklah ibadah, sering-seringlah mengaji, baik untuk ketenangan bayi yang ada dalam kandungan ibu atau untuk ketenangan ibunya sendiri. Alunan suara ibu yang sedang mengaji, akan membuat bayi tenang juga menstimulasi otak dan pendengarannya.

5. Ibu yang sedang mengandung,dianjurkan mengkonsumsi makanan yang halal, bergizi, berprotein tinggi,dianjurkan pula untuk menghindari makanan yang haram, makanan junk food(makanan sampah), makanan instant, minuman berkafein seperti kopi, danjuga rokok (baik aktif maupun pasif) Cobalah bicarakan dengan pasangan ibu yang perokok, katakan bahwa ini semua demi bayi yang akan lahir agar menjadi anak yang sehat, karena semua orang tua mendambakan bayi yang lahir sehat dan sempurna

6. Mencari pasangan yang tepat, bagi perempuan yang belum menikah, bukan berarti tidak memikirkan hal ini (pendidikan dalam kandungan), karena mencari pasangan yang tepat untuk hidup anda kelak, merupakan tolak ukur dalam pendidikan terhadap anak anda nantinya, pasangan yang tepat akan sangat membantu anda dalam melakukan proses pendidikan sejak anda mengandung buah hati tercinta.

Pendidikan dalam kandungan dapat juga dikatatakan pendidikan pra-lahir, “sebelum dilahirkan”, adalah suatu hal yang biasa terjadi bahwa dalam perkembangan janin banyak sel otak yang mati, stimulasi pra-lahir memberi otak suatu kesempatan untuk memanfaatkan sel-selnya sebelum kelahiran, artinya memberi bayi kapasitas otak total yang lebih besar dan suatu langkah maju yang nyata dalam kehidupan.

Stimulasi pra-lahir dapat mempengaruhi pertumbuhan mental bayi yang akan dilahirkan. Berikut hal-hal yang di dapat oleh bayi yang mendapatkan stimulasi pra-lahir:

1. Tampaknya ada suatu masa kritis dalam perkembangan bayi yang dimulai pada usia sekitar 5 bulan sebelum dilahirkan dan berlanjut hingga usia 2 tahun ketika stimulasi otak dan latihan-latihan intelektual dapat meningkatkan kemampuan mental bayi.

2. Stimulasi pra-lahir dapat membantu mengembangkan orientasi dan keefektifan bayi dalam mengatasi dunia luar setelah ia dilahirkan.

3. Bayi-bayi yang mendapatkan stimulasi pralahir dapat lebih mampu mengontrol gerakan-gerakan mereka dan lebih siap untuk menjelajahi juga mempelajari lingkungan setelah mereka dilahirkan.

4. Para orangtua yang telah berpartisipasi dalam program pendidikan pra-lahir menggambarkan anak mereka lebih tenang, waspada, dan bahagia.

Bayi-bayi yang selama dalam kandungan selalu mendapat perhatian, selalu diajak berbicara, biasanya lebih penuh perhatian (terutama terhadap suara ibu atau orang tua mereka) dan lebih termotivasi untuk belajar. Proses belajar pada bayi apalagi janin memang tidak sama dengan belajar, seperti halnya belajar formal, tapi belajar yang dialami janin merupakan proses belajar dari yang sesungguhnya, yang terkadang terlupakan atau tak terberikan. Semoga semua ibu sadar bahwa proses pembelajaran bagi seorang manusia adalah saat ia berada dalam kandungan.

Sumber referensi:
 cara pintar & bijak mendidik anak,esti sukapsih S.Pd,yogyakarta,2008
 cara baru mendidik anak sejak dalam kandungan,F.Rene Van de Carr,M.D. dan Marc Lehrer,Ph.D,kaifa,bandung,2008

Oleh: Endang ratnasari S.Pd.I
Sumber : www.pendidikankita.com

Artikel Lain :

Anak Autis, Sejarah Dan Penanggulangan

Anak Autis | Sejarah dan Penanggulangan Autis

Wednesday, March 24, 2010




Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:

* interaksi sosial,
* komunikasi (bahasa dan bicara),
* perilaku-emosi,
* pola bermain,
* gangguan sensorik dan motorik
* perkembangan terlambat atau tidak normal.

Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan padJustify Fulla gejala autisme.

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):

1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah

B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social

C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda

Gejala autisme
dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:

* Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
* The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
* The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
* The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.

1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

Prevalensi Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:

* Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
* Chromosome 7 – speech / language chromosome
* Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth

Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.

Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.
Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:

* Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
* Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
* Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
* Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.

Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:

* 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
* 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
* 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
* 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
* 2000s Litigation, school-based services
Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:

1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.

* Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
* Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
* TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
* Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
* Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
* Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
* Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
* Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

Sumber : www.id.wikipedia.org

Lis Artikel mendidik anak




anak autis
anak cerdas
anak indonesia
anak remaja
anak sekolah
buku anak
buku cerita anak
cara mendidik anak islami
cara mendidik anak menurut islam
cara mendidik anak secara islami
cara mendidik anak yang baik
cerita anak
cerita anak islam
cerita anak islami
dongeng anak
download cerita anak
download game anak islam
dunia anak
gambar anak
game anak islam
game islami anak
kecerdasan anak
kiat mendidik anak
konsultasi anak
konsultasi psikologi anak
lagu anak
mainan anak
majalah anak
membuat anak
mendidik anak cara rasulullah
nama anak
pendidikan anak
penitipan anak
perkembangan anak
permainan anak
permasalahan anak
psikologi anak
psikologi perkembangan anak
puisi anak
tentang anak

Artikel Lain :

Menstimulasi Anak Motorik Halus Kasar

Menstimulasi Anak Motorik Halus - Kasar

Sunday, February 7, 2010




Kapan dan bagaimana cara melakukan stimulasi dini ?

Stimulasi sebaiknya dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan bayi/balita. misalnya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui, menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain, menonton TV, di dalam kendaraan, menjelang tidur.

Bayi 0 - 3 bulan
Dengan cara mengusahakan rasa nyaman, aman dan menyenangkan, memeluk, menggendong, menatap mata bayi, mengajak tersenyum, berbicara, membunyikan berbagai suara atau musik bergantian, menggantung dan menggerakkan benda berwarna mencolok (lingkaran atau kotak-kotak hitam-putih), benda-benda berbunyi, mengulingkan bayi kekanan-kekiri, tengkurap-telentang, dirangsang untuk meraih dan memegang mainan

Umur 3 - 6 bulan
Ditambah dengan bermain ΄cilukba΄, melihat wajah bayi dan pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, telentang bolak-balik, duduk.

Umur 6 - 9 bulan
Ditambah dengan memanggil namanya, mengajak bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih berdiri berpegangan.

Umur 9 - 12 bulan
Ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan mama-papa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas, menggelindingkan bola, dilatih berdiri, berjalan dengan berpegangan.

Umur 12 - 18 bulan
Ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana (puzzle) memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya, bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, sapu, lap.

Latihlah berjalan tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola,
melepas celana, mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana (mana bola, pegang
ini, masukan itu, ambil itu), menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda.

Umur 18 - 24 bulan
Ditambah dengan menanyakan, menyebutkan dan menunjukkan bagian-bagian tubuh (mana mata? hidung?, telinga?, mulut ? dll), menanyakan gambar atau menyebutkan nama binatang & benda-benda di sekitar rumah, mengajak bicara tentang kegiatan sehari-hari (makan, minum mandi, main, minta dll), latihan menggambar garis-garis, mencuci tangan, memakai celana - baju, bermain melempar bola, melompat.

Umur 2 - 3 tahun
Ditambah dengan mengenal dan menyebutkan warna, menggunakan kata sifat (besar-kecil, panas-dingin, tinggi-rendah, banyak-sedikit dll), menyebutkan nama-nama teman,
menghitung benda-benda, memakai baju, menyikat gigi, bermain kartu, boneka, masak-masakan, menggambar garis, lingkaran, manusia, latihan berdiri di satu kaki, buang air kecil / besar di toilet.

Setelah umur 3 tahun
Selain mengembangkan kemampuan-kemampuan umur sebelumnya, stimulasi juga di arahkan untuk kesiapan bersekolah antara lain : memegang pensil dengan baik, menulis, mengenal huruf dan angka, berhitung sederhana, mengerti perintah sederhana (buang air kecil / besar di toilet), dan kemandirian (ditinggalkan di sekolah), berbagi dengan teman dll.

Perangsangan dapat dilakukan secara profesional di Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak
atau sejenisnya, namun harus dilanjutkan terus di rumah (oleh pengasuh dan keluarga).

Sumber : http://www.ibuanakbanget.com/

Artikel Lain :

Mengembangkan Kreatifitas Anak

Mengembangkan Kreatifitas Anak




Anak saya yang pertama laki-laki berusia 9 tahun termasuk lamban dan pendiam bila dibandingkan dengan adiknya perempuan yang baru berusia 5 tahun. Ia tidak suka melakukan hal-hal yang baru, termasuk beberapa jenis permainan, alasannya selalu mengatakan "tidak bisa." Dalam kegiatan ekstra-kulikuler di sekolah ia juga tidak berminat sama-sekali. Saya kuatir kreativitasnya tidak berkembang dengan baik. Bagaimana menurut Ibu?

Kreativitas dan potensi anak seharusnya berkembang sejak kecil, dan masa usia pra-sekolah merupakan masa-masa yang paling efektif. Pada usia ini mereka memiliki kreativitas alami yang seringkali muncul dalam keinginan tahu yang besar, mereka sering bertanya, senang meniru dan tertarik menjajaki lingkungannya. Bahkan dalam permainan, anak pra-sekolah sudah dapat mengembangkan imajinasi dan potensi yang ada dalam dirinya.

Pada saat-saat seperti inilah peranan orang-tua sangat besar dalam menyediakan sarana yang cocok, memberikan waktu dan perhatian yang besar bagi anak. Ahli pendidikan Beck (1997) mengatakan, Studies of the backgrounds of talented children and highly accomplished adults often reveal homes rich in reading materials and other stimulating activities and parents who emphasizes intellectual curiosity and are highly accepting their youngster's individual characteristics.

Penelitian yang dilakukan pada anak-anak yang berbakat dan orang- orang yang berprestasi ternyata menunjukkan bahwa mereka kebanyakan berasal dari keluarga yang kaya dengan bacaan, aktivitas-aktivitas yang merangsang pemikiran, juga orang-tua yang menekankan keingintahuan serta yang menerima keunikan pribadi setiap anak.

Di pihak lain kreativitas orang-tua sering bersangkut-paut dengan pemilihan jenis permainan anak-anak mereka. Memang memilih permainan yang edukatif merupakan tantangan yang tersendiri. Banyak orang-tua yang tidak terlatih, sehingga permainan-permainan edukatif yang mereka pilih justru menghilangkan bagian penting dari jiwa anak yang menikmati, bercanda dan bermain dengan riang gembira. Orang-tua seharusnya waspada bahwa tidak setiap alat permainan yang mahal mempunyai unsur edukatif yang sehat, sesuai dengan keunikan si anak dan fase pertumbuhan jiwanya.

Memang satu pihak orang-tua melihat makin beragamnya jenis permainan yang ditawarkan di toko-toko, tetapi dipihak lain mereka sulit memilih jenis mainan yang dapat membantu perkembangan daya kreatif anak. Jadi,
1. Perlu bagi orang-tua untuk mengenali keunikan pribadi setiap anak. Banyak anak yang tidak menaruh minat pada apa yang orang-tua anggap"sangat menarik." Dalam hal ini orang-tua tidak perlu memaksakan kehendak mereka. Mungkin ada anak-anak yang lebih lambat dalam hal-hal tertentu. Biarkan secara natural selera mereka berkembang sendiri, karena sikap memaksa dari pihak orang-tua seringkali menghambat atau justru memperlambat keinginan si anak untuk belajar dengan memakai sarana-sarana yang baru.

2. Orang-tua juga perlu konsisten dan menciptakan suasana yang kondusif bagi anak untuk belajar. Hal ini sebaiknya dimulai pada usia sedini mungkin, dan secara khusus pada usia 3-5 tahun di mana keinginan tahu (curiosity) anak sedang berkembang dan potensi kreativitas mereka siap untuk dikembangkan. Jangan sampai usia-usia kritis ini terlewatkan begitu saja, karena orang-tua seringkali tidak menyadari betapa pentingnya kehadiran mereka untuk merangsang kreativitas. Akibatnya, mereka baru sadar setelah anak masuk ke sekolah formal atau sekolah dasar dan potensi kreativitas anak yang sudah mulai menurun bahkan mandeg pada tahun-tahun setelah itu.

3. Tidak dapat disangkali bahwa setiap orang-tua mengharapkan anak- anak dapat melakukan yang terbaik dan sukses di kemudian hari.

Namun perlu disadari, seringkali keinginan ini membuat orang-tua melakukan tekanan yang berlebihan terhadap anak. Tekanan untuk membuat anak hebat, bahkan memaksakan kehendak agar anak-anaknya melebihi anak- anak lain, seringkali menjadi kebanggaan semu yang ada dalam batin orang-tua. Sukses orang-tua dianggap identik dengan sukses anak, sehingga banyak orang-tua yang cenderung selalu mencampuri dan mengambil alih tanggung jawab si anak. Dengan demikian orang-tua merebut inisiatif anak dengan menentukan apa yang mereka harus dipelajari, kapan, dan kepada siapa mereka harus belajar. Tanpa sadar mereka sendirilah yang sebenarnya menjadi sumber penghambat perkembangan kreativitas anak.

Patut disayangkan bahwa banyak program untuk anak-anak balita yang berorientasi pada achievement (hasil yang dapat dicapai) namun bukan pada pengembangan imajinasi anak. Kreativitas anak biasanya dikembangkan melalui daya imajinasi baik dalam bentuk permainan ataupun membiarkan pikiran melayang mengikuti apa yang ia bayangkan, seperti yang dikatakan oleh Gross (1991),

Imagination involves play, letting the mind wander and seeing what it comes up on its own. Since imagination is crucial to creativity, it should come as no surprise that creativity is just as playful...

Imajinasi termasuk permainan, membiarkan pikiran melayang dengan bebas membentuk apa saja yang muncul dalam angan-angan mereka. Imajinasi sangat penting untuk pengembangan kreativitas, sehingga tidak mengherankan jikalau kreativitas seharusnya berkembang melalui permainan-permainan yang menyenangkan...

Akhir-akhir ini memang banyak orang-tua seperti anda, yang gelisah melihat anak-anak mereka kurang kreatif. Hal ini seringkali baru disadari setelah kesulitan-kesulitan belajar muncul. Penyebabnya bisa bermacam-macam antara lain,
1. Orang-tua yang terlalu melindungi anak dan ini biasanya terjadi banyak pada anak pertama, sehingga kesempatan bagi dirinya untuk belajar justru berkurang. Mungkin anda tanpa sadar, seringkali memaksa anak menyesuaikan diri dengan imajinasi dan fantasi anda sebagai orang-tua. Misalnya, saja pada saat mengajar anak untuk menggambar gunung dan sawah selalu dengan pola dua gunung, petak- petak sawah dan matahari. Pada saat anak mempunyai imajinasi yang berbeda, keinginan anda untuk menegur dan mengkoreksi sangat besar.

Padahal imajinasi dan fantasi dari dirinya sendirilah yang mendorong si-anak untuk bertindak kreatif. Pada anak kedua anda sudah lebih rileks dan fleksible, sehingga kreativitasnya tumbuh dengan lebih baik. Anak pertama biasanya segan mencoba sesuatu yang asing karena ia merasa kurang mampu dan keberhasilannya tidak dapat ia pastikan. Mungkin juga dulu ia pernah beberapa kali mencoba tetapi kurang berhasil dan mendapatkan celaan, sehingga ia kurang berani beresiko lagi.

2. Setiap anak unik, jangan dibanding-bandingkan. Apabila anda membandingkan dengan adiknya justru menghasilkan perasaan inferior sehingga ia merasa diri bodoh. Seringkali bagi anak-anak semacam ini orang-tua perlu untuk dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk supaya anak berani mencoba sesuatu yang baru. Anda dapat mulai lebih sering bermain dan berusaha untuk mensejajarkan diri dengannya.
Keikutsertaan anda sebagai orang-tua akan dapat menciptakan semangat yang baru, dan ada keinginan untuk berpartisipasi. Setelah hal ini menjadi pola dalam dirinya anda dapat sedikit demi sedikit membiarkan anak mengembangkan kreativitasnya. Keberhasilan yang anda ungkapkan dalam bentuk pujian, dan dorongan seringkali menjadi perangsang untuk anak lebih berprestasi lagi. Doa saya adalah kiranya Tuhan menolong memberikan keberanian dan ketekunan dalam menerapkan prinsip-prinsip kebenaran yang telah anda ketahui.